NAGAN RAYA – Direktur Yayasan APEL Green Aceh, Rahmad Syukur mengecam dan menolak terhadap sinyal kehadiran kembali PT Emas Mineral Murni (PT EMM) di Kabupaten Nagan Raya.
“Kita meminta kepada Bupati Nagan Raya, TR Keumangan, untuk tidak membuka peluang sedikit pun bagi PT EMM. Karena ini bukan sekadar soal izin usaha, ini soal harga diri masyarakat dan sejarah panjang perjuangan rakyat Beutong Ateuh Banggalang,” tegas Rahmad Syukur, Rabu, 23 Juli 2025.
Diketahui, di tengah perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-23 Kabupaten Nagan Raya pada 22 Juli 2025, kehadiran papan bunga dari PT Emas Mineral Murni (PT EMM) mengejutkan publik.
Ucapan selamat ulang tahun itu bukan hanya dianggap tidak etis, tapi juga memicu kembali gelombang penolakan yang sudah berkali-kali digaungkan oleh masyarakat Aceh sejak 2019.
Perlu diingat bahwa pada 1 Juli 2021, Mahkamah Agung RI secara resmi mencabut izin PT EMM setelah melalui rangkaian panjang gugatan dan unjuk rasa masyarakat Aceh yang menolak eksplorasi dan eksploitasi tambang emas di kawasan Beutong Ateuh Banggalang, Nagan Raya yang dinilai akan menghancurkan ekologi, adat, dan tatanan kehidupan masyarakat setempat.
“Kita jangan menjadi bagian dari orang yang menyakiti hati rakyat. Mahkamah Agung sudah mencabut izinnya, rakyat sudah menolak, lalu apalagi yang perlu diperdebatkan?” tambah Rahmad.
Rahmad menyebut wilayah Beutong Ateuh Banggalang bukan sekadar lokasi geografis biasa. Ia adalah ruang hidup adat, kawasan budaya, dan tempat gugurnya syuhada dalam sejarah kelam Aceh.
Salah satu peristiwa penting yang tak terlupakan adalah tragedi pembantaian Teungku Bantakiah bersama para santrinya pada 23 Juli 1999.
“Menambang emas di atas tanah syuhada adalah pengkhianatan terhadap sejarah dan martabat kita sebagai bangsa. Ini bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal luka sejarah dan nilai-nilai luhur yang harus dijaga,” ujar Rahmad lantang.
Penolakan terhadap rencana pertambangan di kawasan Beutong Ateuh bukanlah narasi tunggal. Rahmad menyebut bahwa sejumlah organisasi sipil yang fokus terhadap isu lingkungan telah menyuarakan penolakan terbuka dan bahkan membuat petisi yang hingga kini sudah ditandatangani oleh lebih dari 80 ribu orang.
“Kami tidak akan berhenti menyuarakan ini. Tidak untuk tambang emas di Beutong Ateuh Banggalang. Tidak untuk perusahaan di tanah syuhada. Tidak untuk mengulang luka sejarah lama,” katanya.
Masyarakat adat di Beutong Ateuh , lanjut Rahmad, memiliki aturan adat yang ketat dalam menjaga kelestarian alam. Wilayah itu bukan sekadar hutan, tapi ruang sakral tempat hidup nilai-nilai kearifan lokal. Pelanggaran terhadap hutan, berburu liar, dan perusakan lingkungan akan mendapat sanksi adat.
“Jika PT EMM atau perusahaan tambang lain masuk, maka bukan hanya hutan yang rusak, tapi juga tatanan adat, pendapatan masyarakat, hingga ekosistem budaya bisa hancur. Ini bukan narasi pesimistis, ini fakta dari berbagai wilayah yang sudah menjadi korban tambang,” katanya.
Rahmad Syukur Tadu mengajak semua pihak mulai dari Bupati Nagan Raya, Gubernur Aceh, hingga DPRK dan DPRA untuk mengeluarkan Beutong Ateuh Banggalang dari peta kawasan tambang melalui revisi tata ruang.
Ia mendorong agar Beutong Ateuh Banggalang dijadikan kawasan adat, kawasan budaya, dan kawasan lindung yang lestari.
“Saya percaya bahwa pemimpin Aceh masih punya keberpihakan terhadap rakyat. Tanah warisan leluhur ini harus kita jaga. Beutong Ateuh Banggalang bukan untuk investasi tambang, tapi untuk generasi yang mencintai sejarah, alam, dan adatnya,” pungkas Rahmad.