Search

MITOS TRANSISI ENERGI DI PESISIR BARAT ACEH: PERTARUNGAN NARASI CO-FIRING BIOMASSA DALAM KEBIJAKAN ENERGI

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara di wilayah pesisir menjadi sumber pencemaran udara dan laut yang berdampak signifikan terhadap kesehatan, sosial, dan ekonomi masyarakat. Salah satu contohnya adalah PLTU 1–2 Nagan Raya di pesisir barat Aceh yang beroperasi sejak 2014 dengan kapasitas 2 × 110 MW di bawah pengelolaan PT PLN Nusantara Power. Aktivitas pembakaran batu bara dan lalu lintas pengangkutan menimbulkan polusi PM2.5, NO₂, dan SO₂ yang berkontribusi terhadap meningkatnya kasus ISPA dan penyakit kulit di masyarakat sekitar. Data Puskesmas Padang Rubek mencatat 809 kasus ISPA pada 2022, 526 kasus pada 2023, dan 146 kasus hingga Juli 2024.

Meski telah menimbulkan dampak serius, pemerintah tetap menyetujui pembangunan PLTU 3–4 Nagan Raya berkapasitas 2 × 225 MW oleh PT Meulaboh Power Generation (anak perusahaan China Datang Corp Ltd.). Padahal, sistem kelistrikan Aceh saat itu mengalami oversupply—dari kapasitas 540 MW hanya terserap 400 MW—dan proyek tersebut diwarnai masalah perizinan, dugaan korupsi, serta pelanggaran lingkungan. PLTU Unit 3 Nagan Raya telah beroperasi sejak Juni 2023 dan Unit 4 masih tahap uji steam blowing. Kehadiran PLTU baru ini semakin memperburuk kualitas hidup masyarakat pesisir yang sudah terdampak oleh PLTU sebelumnya.

Selain polusi udara, kasus tumpahan batu bara di laut terus terjadi sejak PLTU dan perusahaan tambang PT Mifa Bersaudara beroperasi, bahkan bisa tiga kali setahun di perairan Meureubo—wilayah konservasi laut dan adat Panglima Laot (Hanafiah 2023). Tumpahan tersebut merusak terumbu karang, mencemari laut, memicu migrasi ikan, dan menurunkan hasil tangkapan nelayan. Pendapatan nelayan menurun hingga 70%, dari tujuh timba (sekitar 105 kg) menjadi hanya dua timba sekali melaut, sementara biaya operasional meningkat karena harus melaut lebih jauh dan memperbaiki jaring yang rusak karena tersangkut batu bara.

Respons pemerintah daerah, provinsi, maupun pusat masih minim. Tidak ada upaya serius untuk menegakkan pertanggungjawaban atau menjatuhkan sanksi kepada perusahaan. Sejauh ini langkah yang dilakukan manajemen perusahaan adalah membeli tumpahan batubara yang dikumpulkan warga dengan harga Rp25.000 per karung. Langkah tersebut sekilas tampak seperti tindakan sukarela dan mulia, serta bentuk niat baik perusahaan. Namun, jika dilihat lebih jauh, hal tersebut tidak lebih dari upaya perusahaan untuk menghindari pertanggungjawaban. Situasi ini memperlihatkan lemahnya tata kelola lingkungan dan dominasi kepentingan ekonomi dalam kebijakan energi di tingkat lokal.

 

Pertarungan Narasi Transisi Energi

Pemerintah Indonesia melalui PP No. 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang baru disahkan, menetapkan target bauran energi terbarukan (EBT) minimal 19%–23% pada 2030 dan 70%–72% pada 2060. Selain untuk mengurangi produksi emisi karbon dengan melakukan transisi ke energi yang lebih bersih, peningkatan bauran energi EBT bertujuan untuk mencapai ketahanan energi nasional dengan melakukan diversifikasi energi dan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil yang niscaya akan habis.

Strategi untuk mencapai target bauran EBT dan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) KEN dijabarkan lebih lanjut melalui Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN 2024) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL 2025–2034), yang menekankan salah dua pendekatan: (1) Pengalihan bahan bakar (fuel switching) dari batu bara ke biomassa melalui skema co-firing; dan (2) Penerapan teknologi rendah karbon dan penangkap karbon seperti boiler supercritical, ultra-supercritical, Carbon Capture and Storage (CCS).

Melalui Permen ESDM No. 12 Tahun 2023, pemerintah mewajibkan 52 PLTU menggunakan 5–10% biomassa dari total konsumsi batu bara. Program ini juga diberi narasi sebagai “langkah transisi energi hijau” yang mampu menciptakan lapangan kerja lokal melalui penyediaan bahan baku biomassa.

Kebijakan ini turut diterapkan di PLTU Nagan Raya sejak 2020. PLN mengklaim program co-firing berhasil membakar 18.982 ton biomassa dan menekan emisi 18.122 ton CO₂. Perusahaan juga menyebut telah memakai teknologi Electrostatic Emission Monitoring (ESP) sehingga tidak ada lagi polusi udara.

Namun, masyarakat dan organisasi masyarakat sipil (OMS) menolak klaim tersebut. Menurut WALHI Aceh dan APEL Green Aceh, co-firing tidak mengurangi emisi GRK secara signifikan, bahkan dapat memperburuk kerusakan ekologis akibat penebangan pohon untuk biomassa. Mereka menilai kebijakan ini hanya memperpanjang umur PLTU dan menghambat transisi menuju energi bersih.

Perbedaan pemaknaan antara pemerintah dan OMS mencerminkan pertarungan narasi (wacana) tentang transisi energi. Di satu sisi, negara dan korporasi membangun hegemoni (narasi dominan) bahwa co-firing adalah solusi hijau; di sisi lain, masyarakat menegaskan narasi transisi energi sejati untuk keadilan ekologis. Dengan demikian, artikel ini bertujuan menganalisis bagaimana pertarungan wacana tersebut berlangsung dalam kebijakan co-firing biomassa PLTU Nagan Raya.

 

Analisis Narasi Transisi Energi

Analisis ini menggunakan teori wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (2008) yang berakar pada pemikiran Michel Foucault tentang kekuasaan dan pengetahuan. Kebijakan dipahami sebagai arena perebutan makna dan hegemoni—proses di mana realitas sosial dikonstruksi seolah-olah objektif (netral tanpa kepentingan, ilmiah, rasional) dan alamiah (given, sesuai dengan hukum alam, tidak bisa diubah). Dalam konteks ini, “transisi energi berbasis co-firing” merupakan makna yang sedang diupayakan negara untuk menjadi hegemoni (narasi) dominan di masyarakat, sementara masyarakat sipil berusaha membangun hegemoni tandingan.

Laclau dan Mouffe membedakan hegemoni dari dominasi. Hegemoni tidak dipaksakan secara fisik, tetapi dibangun melalui persetujuan sosial (consent) atas makna tertentu yang diterima sebagai kebenaran umum. Wacana terbentuk melalui praktik artikulasi, yaitu proses menghubungkan elemen-elemen makna dalam jalinan kesamaan (chain of equivalence) agar tampak koheren (berhubungan) dan stabil. Namun stabilitas itu bersifat sementara dan tidak bersifat tetap (kontingen), karena setiap wacana selalu dapat terguncang (dislokasi) akibat krisis (ketika realitas tidak sesuai dengan narasi yang dibangun) atau resistensi sosial.

Dalam situasi dislokasi, aktor politik berupaya meneguhkan kembali wacana melalui pembentukan mitos, yakni narasi pokok yang memberi penjelasan atas krisis dan menawarkan solusi tertentu. Jika mitos berhasil diterima secara luas, ia berubah menjadi imaji sosial, yaitu representasi kolektif yang dianggap sebagai kebenaran bersama.

Dalam kasus ini, “transisi energi” menjadi penanda mengambang (floating signifier)—maknanya belum tetap dan diperebutkan antara dua kubu: negara dan korporasi di satu sisi, serta masyarakat dan OMS di sisi lain. Pemerintah berupaya menjadikannya titik nodal (nodal point)—

simpul yang menghubungkan makna lain agar tampak utuh—yang meneguhkan makna transisi sebagai co-firing, sedangkan OMS berusaha merebutnya dengan makna baru: transisi energi sejati untuk keadilan ekologis.

 

Mitos Transisi Energi Berbasis Co-firing

PLTU batu bara merupakan penyumbang terbesar emisi karbon di Indonesia. Pada 2022, sektor energi menghasilkan 727.330 Gg CO₂e (59,1% dari total nasional), dan 78% di antaranya berasal dari PLTU batu bara (KLHK 2023). Aktivitas PLTU juga mencemari laut melalui tumpahan batu bara, merusak terumbu karang, dan menurunkan pendapatan nelayan hingga 70%. Di darat, polutan seperti PM2.5, SO₂, dan NO₂ memicu ribuan kasus ISPA di sekitar PLTU Nagan Raya.

Kesadaran akan krisis ini mendorong dua rezim wacana (narasi). Rezim PLTU batu bara mengartikulasikan transisi energi sebagai co-firing biomassa, penerapan teknologi rendah emisi, dan CCS. Melalui kebijakan KEN, RUKN, dan RUPTL, pemerintah menegaskan bahwa co-firing adalah langkah menuju “energi hijau” dan “net zero emission” tahun 2060. Data PLN menyebut co-firing menurunkan emisi 1,4 juta ton CO₂ dan menghasilkan energi hijau 1,3 juta MWh (Sawal 2024).

Namun, wacana ini mengalami guncangan (dislokasi) karena bertentangan dengan realitas lapangan. Penerapan co-firing di PLTU Nagan Raya tidak menghentikan pencemaran udara maupun laut. Kasus ISPA masih tinggi, tumpahan batu bara berulang, dan kondisi pesisir semakin rusak. Dalam konteks teori Laclau–Mouffe, kegagalan ini menunjukkan rapuhnya hegemoni yang sedang dibangun negara.

Sebaliknya, rezim energi terbarukan yang diwakili OMS dan warga pesisir menawarkan narasi tandingan. Mereka menilai co-firing adalah solusi palsu, sebab masih mengandalkan batu bara dan menghasilkan emisi signifikan. Kajian Trend Asia menunjukkan co-firing 10% biomassa di 107 PLTU justru berpotensi menghasilkan 25,48 juta ton CO₂e per tahun (Muhajir et al. 2022). Selain itu, kebutuhan batu bara nasional tetap meningkat dari 111 juta ton (2021) menjadi 161 juta ton (2033), menunjukkan bahwa co-firing tidak mengurangi ketergantungan pada energi fosil.

Gambar 1. Levelized cost of energy (LCOE) simpel dan lanjutan per jenis pembangkit

Sumber: Hiremath et al. 2021

Klaim efektivitas teknologi CCS juga diragukan. Penelitian Roy et al. (2023) menunjukkan sebagian besar proyek CCS hanya mampu menangkap sekitar 15% emisi, sementara biayanya jauh lebih tinggi dibanding energi terbarukan (lihat Gambat 1). Dengan demikian, program co-firing dan CCS lebih berfungsi sebagai legitimasi politik agar PLTU batu bara tetap dapat beroperasi di bawah label “energi hijau”.

Selain gagal menekan emisi, kebijakan co-firing juga memperparah ketimpangan sosial-ekologis. Aktivitas PLTU mengganggu ekosistem laut dan menurunkan kesejahteraan nelayan lokal. Akibatnya, narasi “energi hijau” kehilangan legitimasi sosial dan gagal menjadi imaji kolektif (kebenaran bersama). Sebaliknya, wacana tandingan “transisi energi sejati untuk keadilan ekologis” semakin menguat di tingkat masyarakat.

Dengan demikian, mitos transisi energi berbasis co-firing yang dibangun negara gagal menjadi hegemoni dominan. Ia runtuh karena tidak mampu menjawab krisis ekologis yang nyata di lapangan. Sementara itu, wacana tandingan dari masyarakat menegaskan bahwa transisi energi sejati harus dimulai dengan pensiun dini PLTU batu bara dan beralih ke sumber energi bersih seperti tenaga surya, bayu, hidro, dan gelombang laut.

 

Daftar Pustaka:

Hanafiah J. 2023 Okt 14. Terus berulang, tumpahan batubara cemari pantai dan laut kawasan konservasi di Meureubo, Aceh. Mongabay.co.id. [diakses 2025 Mei 23]. https://www.mongabay.co.id/2023/10/14/berulang-kembali-tumpahan-batubara-cem ari-pantai-dan-laut-kawasan-konservasi-di-meureubo-aceh/.

Hiremath M, Viebahn P,  Samadi S. 2021. An integrated comparative assessment of coal-based carbon capture and storage (CCS) vis-à-vis renewable energies in India’s low carbon electricity transition scenarios. Energies. 14(2):262. doi:10.3390/en14020262.

[Kepmen] Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 314.K/TL.01/MEM.L/2024 tentang Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).

[Kepmen] Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No. 199.K/TL.03/MEM.L/2025 tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Tahun 2025 Sampai dengan Tahun 2034.

[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2023. Laporan inventarisasi gas rumah kaca (GRK) dan monitoring, pelaporan, verifikasi (MPV). Jakarta: KLHK.

Laclau E, Mouffe C. 2008. Hegemoni dan strategi sosialis postmarxisme + gerakan sosial baru. Yogyakarta: Resist Book.

Muhajir M, Febrian R, Nagara G, Saputra PA, Damanik I, Agustiorini S, Erlina MI, Indradi Y, Nasution M, Airlinus Z. 2022. Adu klaim menurunkan emisi. Jakarta: Trend Asia dan Ranang Strategic.

[Permen] Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2023 tentang Pemanfaatan Biomassa di PLTU.

[PP] Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). 2025.

Roy P, Mohanty AK, Misra, M. 2023. Prospects of carbon capture, utilization and storage for mitigating climate change. Environmental Science: Advances. 2(3):409-423. doi:10.1039/D2VA00236A.

Sawal R. 2024 Feb 3. Mempertanyakan label transisi energi untuk PLTU co-firing [2]. Mongabay.co.id. [diakses 2025 Mei 23]. https://www.mongabay.co.id/ 2024/02/03/merpetanyakan-label-transisi-energi-untuk-pltu-co-firing-2/.

 

 

BAGIKAN ARTIKEL INI
Facebook
X
LinkedIn
WhatsApp
GALERI TERKAIT

INGIN BERKONTRIBUSI?

Ayo bergabung bersama kami dan menjadi Agen Perubahan Lingkungan.

Berlangganan berita kami seputar Lingkungan Aceh sekarang

id_IDBahasa Indonesia