Search

Rawa Tripa Kritis, Ekosistem dan Satwa Langka Terancam Punah

Rawa Tripa, salah satu dari tiga kawasan rawa gambut utama di pesisir barat Aceh, kembali menjadi sorotan dalam diskusi nasional mengenai perubahan iklim dan konservasi keanekaragaman hayati. Terletak di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, ekosistem ini dulunya dikenal sebagai “hutan rawa tropis paling kaya karbon di Asia Tenggara”.

Dalam dua dekade terakhir, Rawa Tripa mengalami tekanan luar biasa akibat alih fungsi lahan, pembukaan perkebunan sawit, dan pembakaran hutan. Luas ekosistem gambutnya yang semula mencapai lebih dari 61.803 hektare kini menyusut drastis, menyisakan kerusakan ekologis yang mengancam kehidupan flora, fauna, dan masyarakat lokal.

Berdasarkan analisa citra satelit tahun 2022, menunjukkan luas tutupan hutan masih berkisar 6.874,37 hektar. Namun, pada Oktober 2024 jumlah luas tutupan hutan yang tersisa hanya sekitar 6.428,37 hektar. Telah terjadi penyusutan luas tutupan hutan sekitar 446 hektar dalam kurun waktu dua tahun.

Jika dirata-ratakan, luas kehilangan tutupan hutan berkisar 20,2 hektar setiap bulannya. Sisa hutan gambut terakhir di Nagan Raya ini juga masih tumpang tindih dengan penguasaan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Peta hasil overlay dengan peta HGU di Nagan Raya menunjukkan HGU PT. Sura Panen Subur (SPS) 2 seluas 7.565,26 hektar dan HGU PT Kallista Alam seluas 520,78 hektar. Sehingga total jumlah luas HGU dalam kawasan lindung gambut 8.086,04 hektar.

Pemanfaatan lahan oleh HGU perkebunan yang secara hukum dipandang legal, karena keberadaan mereka sebelum ditetapkannya KEL dan status kawasan pada saat diberikan izin sampai sekarang adalah Area Penggunaan Lain (APL) .

Meskipun demikian, perusahaan tersebut sudah seharusnya berhenti membuka lahan baru karena di dalamnya terdapat kubah gambut. Karena tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 14 Tahun 2009 tentang larangan budidaya dalam kawasan terdapat kubah gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter. Serta terdapat regulasi yang menguatkan perlindungan hutan gambut di Rawa Tripa, yaitu Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor Sk.129/Menlhk/Setjen/Pkl.0/2/2017 tentang Penetapan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut Nasional.

APEL Green Aceh secara rutin memantau kawasan Rawa Tripa dan menemukan aktivitas pembukaan lahan. Secara terbuka, excavator dan bulldozer sedang menghancurkan ekosistem hutan gambut.

Deforestasi dilakukan dengan tujuan untuk ekspansi perkebunan kelapa sawit oleh perusahanan besar, dan sudah dilakukan sejak sepuluh tahun terakhir.

Rawa Tripa dulunya menjadi salah satu tempat dengan kepadatan orangutan Sumatra (Pongo abelii) tertinggi di dunia. Kini, spesies ini hampir tidak ditemukan lagi di wilayah tersebut akibat fragmentasi habitat dan kebakaran. Spesies lain yang terdampak termasuk: Orangutan,Harimau Sumatra, Beruang madu, Ratusan jenis burung rawa dan Spesies tumbuhan obat dan endemik rawa Kondisi ini diperparah oleh kurangnya tindakan tegas terhadap pelaku pembakaran dan perusakan hutan.

Kerusakan ekosistem gambut di rawa tripa telah mencapai titik kritis dengan hilangnya tutupan hutan akibat alih fungsi lahan dan perambahan Ilegal. Kondisi ini telah mengacam habitat satwa langka Orangutan dan Hariamau Sumatra. Aktivitas perkebunan kelapa sawit telah menjadi penyebab utama terjadinya kerusakan di Rawa Tripa.

Berdasarkan hasil analisis data, ditemukan bahwa terjadinya tumpang tindih Kawasan Lindung Gambut dengan Kawasan HGU perusahaan, yang dalam kasus ini adalah PT. SPS II seluas 7.565,26 hektar dan PT. Kallista Alam seluas 520,78 hektar. Sehingga total HGU dalam kawasan Lindung Gambut seluas 8.086,04 hektar.

Rawa Tripa menyediakan berbagai sumber daya alam yang menjadi penopang utama kehidupan masyarakat lokal. Mereka memanfaatkan hasil hutan non-kayu, seperti rotan dan tanaman obat, serta menangkap ikan rawa seperti ikan limbat (sejenis lele rawa) yang menjadi sumber protein dan pendapatan penting bagi masyarakat. Namun, pembukaan lahan untuk perkebunan sawit telah merusak habitat alami ikan dan mengganggu siklus hidrologi, sehingga mengancam keberlanjutan sumber daya alam.

Kondisi masyarakat yang bergantungan kehidupan nya dari hasil alam di rawa tripa juga berdampak atas terjadinya okupansi lahan, pembukaan kawasan hutan yang sangat masif, salah satu yang sangat berdampak adalah para nelayan yang mencari ikan lele rawa dan para pencari rotan di kawasan rawa tripa saat ini mereka secara tidak langsung mulai menurut pendapatannya di karena kondisi hutan rawa tripa semakin memperhatikan akan berdampak pada pendapat mereka juga

Soal kasus hukum berupa pembakaran lahan Rawa Tripa oleh PT Kallista Alam, Koalisi mendesak Pengadilan Negeri Suka Makmue segera mengeksekusi putusan pemulihan lingkungan 1.000 hektare lahan terbakar, dengan biaya Rp251,76 miliar, sita jaminan SHGU No. 27 seluas 5.769 Ha, dan uang paksa Rp5 juta per hari.

Desakan yang sama juga berlaku untuk kasus hukum PT Surya Panen Subur II. Koalisi juga meminta Pengadilan Negeri Suka Makmue melaksanakan putusan pemulihan lingkungan seluas 1.200 hektare lahan terbakar, dengan biaya Rp302,15 miliar, serta pembayaran ganti rugi Rp136,86 miliar.

Jika kita melihat  kondisi hutan yang tersisa maka mesti nasib Orangutan sumatera danharimau sumatera serta bioversiti yang di rawa tripa sangat terancam akan keberlansungan hidupnya akibat terjadinya okupansi dan pembukaan hutan rawa menjadi perkebunan sawit. Akibat dari terjadinya deforestasi maka hutan yang menjadi daerah jelajahnya yang semakin sempit maka akan terjadi konfik antara manusia dan satwa.

Sejak tahun 2017 hingga 2018 yang dilakukan oleh PT. Kallista Alam dan PT.Surya Panen Subur II telah terbukti melakukan pembakaran kawasan gambut tripa. Perusahaan tersebut sampai saat ini belum melaksanakan sepenuhnya keputusan pengadilan yang sudah ikrah dan mengikat ketegasan dari pihak pengadilan dan kepolisian ada karena masalah tersebut masih berlarut-larut sampai saat ini.

Kondisi masyarakat yang bergantungan kehidupan nya dari hasil alam di rawa tripa juga berdampak atas terjadinya okupansi lahan, pembukaan kawasan hutan yang sangat masif, salah satu yang sangat berdampak adalah para nelayan yang mencari ikan lele rawa dan para pencari rotan di kawasan rawa tripa saat ini mereka secara tidak langsung mulai menurut pendapatanny di karena kondisi hutan rawa tripa semakin memperhatikan akan berdampak pada pendapat mereka juga

Harapan kita pengadilan Negeri suka makmue segera melaksanakan keputusan pengadilan yang sudah ikrah dan mengikat terhadap dua perusahan yang yang telah melakukan pembakaran pembakaran rawa tripa, yaitu pt kallista alam dan pt surya panen subur II kedua nya di wajibkan memulihkan lahan,

Kami juga meminta Komitmen pengadilan suka makmue untuk segara melakukan eksekusi terhadap dua perusahan tersebut jika kedua perusahan tersebut melakukan pemulihan lahan yang telah mereka bakar pemuliahn ini terdiri dari pt kalista alam sebanyak 1000 ha dgn biaya pemulihannya 251 Milyal lebih dan juga pt surya panen subur sebanyak 1200 ha biaya pemulihannya 302 milyar lebih. Keputusan tersebut sampai saat ini belum terlaksanakan maka kami nilai pengadilan kurang tegas terhadap keputusan pengadilan tersebut.

Kami juga mendesak kepada pemerintah provinsi aceh dan kabupaten nagan raya  untuk segera  melakukan peningkatat status kawasan rawa tripa menjdi kawasan konservasi agar penyelamatan gambut tersisa dan satwa lingkung yaitu orangutan, harimau sumatra dan bioversiti di dalam nyan

Tuntutan

  • Mendesak Nusron Wahid Menteri ATR/BPN: Cabut HGU Milik PT. Kallista Alam (520,78 Ha) dan PT. Surya Panen Subur (7565,26 Ha). Lindungi Gambut, Selamatkan Keanekaragaman Hayati.
  • mendesak Raja Juli Antoni Menteri kehutanan untuk segera mengambil tindakan tegas dalam menyelamatkan hutan Rawa tripa.
  • Mendesak Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Bupati Nagan Raya Dr. Teuku Raja Keumangan. S.H., M.H Segera meningkatkan status perlindungan Rawa Tripa, untuk Selamatkan Keanekaragaman Hayati di Rawa Tripa
  • Mendesak Pengadilan Negeri Suka Makmue Untuk segera melaksanakan eksekusi PT. Kallista Alam Nomor:12/Pdt.G/2012/PN/Mbo jo Nomor : 50.PDT/2014/PT.BNA jo nomor 651 K/Pdt/2015 jo Nomor :1 PK/Pdt/2017 dalam Pokok pekara: sita jaminan Sertifikat Hak Guna Usaha No. 27 dengan luas 5.769, pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar seluas kurang lebih 1000 hektar dengan biaya sebesar Rp. 251.765.250.000,00 sehingga lahan dapat difungsikan kembali Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 5.000.000 perhari atas keterlambatan dalam melaksanakan keputusan dalam perkaran ini,-
  • Mendesak Pengadilan Negeri Suka Makmue Untuk segera melaksanakan eksekusi PT. Surya Panen Subur II Nomor: 700/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel Jo Nomor :796/PDT/2014/PT DKI jo Nomor 2905 K/Pdt/2015 jo Nomor 690 PK/Pdt/2018 pokok perkara membayar ganti rugi materil rekening Kas Negara sebesar Rp136.864.142.800 Pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar seluas kurang lebih 1200 hektar dengan biaya sebesar Rp302.154.300.000,- sehingga lahan dapat difungsikan kembali.

BAGIKAN ARTIKEL INI
Facebook
X
LinkedIn
WhatsApp
GALERI TERKAIT

INGIN BERKONTRIBUSI?

Ayo bergabung bersama kami dan menjadi Agen Perubahan Lingkungan.

Berlangganan berita kami seputar Lingkungan Aceh sekarang

id_IDBahasa Indonesia