Indonesia secara aktif menunjukkan komitmennya terhadap konservasi keanekaragaman hayati global melalui partisipasi dalam berbagai perjanjian dan kesepakatan internasional. Salah satu bentuk komitmen tersebut adalah meratifikasi Convention on Biological Diversity (CBD) yang mengikat Indonesia untuk menjaga keanekaragaman hayati dari eksploitasi dan pengrusakan. Lebih lanjut, Indonesia juga telah menyusun Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan 2025-2045 (IBSAP) sebagai panduan nasional dalam mengimplementasikan tujuan-tujuan pada CBD. IBSAP mencakup berbagai strategi dan aksi nyata untuk melindungi ekosistem, melestarikan spesies, dan memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Partisipasi aktif Indonesia dalam agenda konservasi keanekaragaman hayati internasional menegaskan peran pentingnya dalam upaya global untuk menjaga kelestarian kehidupan di bumi. Namun, komitmen ini perlu diimbangi dengan implementasi yang konsisten di tingkat nasional agar tujuan konservasi keanekaragaman hayati dapat tercapai secara optimal. Komitmen ini menempatkan Indonesia sebagai aktor penting dalam upaya global untuk melindungi keanekaragaman hayati dan menjaga kelestarian sumber daya alam.
Namun, ironi dibalik komitmen tersebut, terdapat tantangan besar dalam mengimplementasikan konservasi di Indonesia. Realita di lapangan menunjukkan adanya konflik kepentingan yang sangat serius. Rezim kawasan hutan dinilai tidak mampu menghentikan laju kerusakan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati di Indonesia, sampai sejauh ini. Catatan Forest Watch Indonesia (2024) menunjukan bahwa 90% kerusakan sumber daya alam berupa hutan alam terjadi di luar kawasan konservasi, yakni berupa Kawasan Hutan Lindung, Kawasan Hutan Produksi Terbatas, Kawasan Hutan Produksi Tetap, Kawasan Hutan Produksi Dikonversi, dan Area Penggunaan Lain. Hal ini mengindikasikan bahwa ancaman terhadap kehilangan keanekaragaman hayati sangat nyata berada di luar area yang dikonservasi secara formal.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkap 6,91 juta hektare areal dilepas dari kawasan hutan negara, dan sebanyak 78,39% diantaranya untuk perkebunan kelapa sawit, termasuk untuk bioenergi. Catatan FWI (2024) sebanyak 5,5 juta hektare yang sudah dilepaskan untuk kebun sawit. Tekanan terhadap kelestarian keanekaragaman hayati semakin sulit dengan tingginya kepentingan terhadap sumber daya alam di sektor kehutanan dari usaha perkebunan kelapa sawit. Kompleksitas Hak Guna Usaha (HGU) dinilai sebagai rezim yang turut mengancam tercapainya tujuan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.
Data FWI (2024) menunjukkan bahwa di berbagai daerah di Indonesia, simpul-simpul lokasi keanekaragaman hayati ditemukan di dalam areal HGU. Tercatat sebanyak 19,16% dari total areal HGU (analisis tidak termasuk Tanah Papua) secara signifikan merupakan kawasan ekosistem esensial (KEE). Wilayah-wilayah dalam analisis ini meliputi Jawa, Bali, Nusra, Maluku, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. KEE (Kawasan Ekosistem Esensial) yang meliputi berbagai ekosistem penting seperti mangrove, gambut, dan karst, yang menjadi habitat beragam spesies langka dan areal bernilai konservasi tinggi (ABKT) yang juga mencakup koridor satwa dan taman keanekaragaman hayati untuk melindungi flora dan fauna, yang merupakan upaya konservasi di luar status kawasan konservasi.
Tumpang tindih ini memicu eksploitasi sumber daya alam oleh rezim HGU. Operasional usaha perkebunan besar seperti sawit dapat mengancam ekosistem yang menjadi keanekaragaman hayati. Hal ini menunjukkan bahwa tata kelola lahan masih menghadapi tantangan serius diantara kepentingan bisnis dan pelestarian alam.
Tata kelola Hak Guna Usaha (HGU) menunjukan kinerja yang buruk. Tidak adanya transparansi dan pembangkangan dengan sengaja oleh Menteri ATR/BPN terhadap hukum. Sengketa informasi HGU masyarakat sipil menjadi potret bahwa Kementerian ATR/BPN enggan mematuhi putusan Komisi Informasi Publik, putusan PTUN, dan bahkan putusan Mahkamah Agung untuk membuka dokumen HGU. Hal ini mendorong terjadinya konflik agraria yang berkelanjutan serta membatasi hak dan akses masyarakat lokal dan masyarakat adat terhadap informasi lahan. Maka HGU dijalankan tanpa partisipasi, prinsip PADIATAPA dan dijalankan tanpa akuntabilitas yang baik. Ini merupakan potret Bad Governance dari rezim HGU di Indonesia yang dapat memicu terjadi penyalahgunaan wewenang dan korupsi di sektor sumber daya alam.