Search

Tidak Hanya Pada Tambang Ilegal, Mualem Juga Harus Keluarkan Eskavator dalam Hutan Lindung!

Pernyataan Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem), yang menyoroti persoalan tambang illegal di Aceh memang penting.

Namun, pernyataan itu dinilai masih jauh dari cukup, karena fokusnya belum menyentuh akar persoalan lingkungan yang lebih luas.

Saat ini, perusakan hutan di Aceh justru terjadi dengan cara yang lebih sistematis: pembukaan kawasan hutan dengan alat berat (ekskavator).

“Misalnya di Rawa Tripa, Kila, hingga Beutong Ateuh, ekspansi ilegal terus berjalan. Kawasan hutan lindung yang seharusnya menjadi benteng terakhir kehidupan kini dipreteli sedikit demi sedikit oleh kepentingan ekonomi jangka pendek,” sebut Syukur,

Ia menambahkan, padahal, semua tahu akibat dari penghancuran hutan Aceh. Hutan yang hilang berarti hilangnya sumber air bersih bagi rakyat, meningkatnya risiko banjir dan longsor, musnahnya lahan pertanian masyarakat, punahnya satwa langka seperti orangutan, gajah, dan harimau.

Lebih dari itu, kata Syukur, perusakan hutan memperparah krisis iklim global yang dampaknya semakin nyata kita rasakan di Aceh: musim tak menentu, kekeringan panjang, hingga gelombang pasang yang makin sering menghantam pesisir.

“Jika Mualem sungguh peduli terhadap masa depan Aceh, maka seharusnya kritik tidak berhenti pada tambang semata. Mengapa diam ketika hutan dirusak dengan ekskavator? Mengapa tidak lantang bicara ketika kawasan gambut digunduli untuk kepentingan segelintir pihak,” katanya

Karena itu, Syukur berharap rakyat Aceh berhak menuntut konsistensi moral dari para elit politik, bukan sekadar memilih isu yang populer.

“Kami mendesak Mualem dan seluruh elit politik Aceh untuk tidak menutup mata terhadap perambahan hutan,” tegasnya.

Dikatakan, suara politik harus diarahkan untuk mendorong penegakan hukum terhadap pelaku perusakan hutan. Tanpa itu, sikap kritis terhadap tambang akan selalu terlihat parsial, seolah hanya demi kepentingan politik sesaat.

Aceh membutuhkan kepemimpinan moral yang konsisten dan menyeluruh: menolak perusakan lingkungan baik oleh tambang maupun perambahan hutan. Sejarah telah mencatat, Wali Nanggroe Aceh, Tgk. Hasan di Tiro, pernah mengingatkan:

“Peuseulamat uteun Aceh, sabab uteuen njan nakeuh salah saboh pusaka keuneubah endatu njang akan tapulang keu aneuk tjutjo geutanjoe di masa ukeu”

Amanah ini bukan sekadar kata-kata, tetapi peringatan agar generasi sekarang tidak menggadaikan masa depan demi keuntungan jangka pendek.

Menurut Syukur, kini saatnya Mualem dan para elit Aceh membuktikan apakah mereka benar-benar peduli pada rakyat dan masa depan Aceh, atau hanya menjadikan isu lingkungan sebagai komoditas politik.

Hutan Aceh sedang berada di ujung tanduk—dan diam berarti ikut merestui kehancurannya.

BAGIKAN ARTIKEL INI
Facebook
X
LinkedIn
WhatsApp
GALERI TERKAIT

INGIN BERKONTRIBUSI?

Ayo bergabung bersama kami dan menjadi Agen Perubahan Lingkungan.

Berlangganan berita kami seputar Lingkungan Aceh sekarang

id_IDBahasa Indonesia