Banda Aceh, 2 Juni 2025 — Yayasan APEL Green Aceh bersama Jaringan Masyarakat Sipil yang terdiri dari CSO lokal, nasional dan internasional yang tergabung dalam Selamatkan Rawa Tripa untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia menyampaikan keprihatinan yang sangat mendalam terhadap lambannya proses eksekusi putusan pengadilan terhadap dua perusahaan kelapa sawit besar, PT Kallista Alam dan PT Surya Panen Subur II (SPS II), yang telah terbukti secara hukum bersalah dalam kasus pembakaran lahan gambut di kawasan Rawa Tripa, Aceh.
Melalui surat terbuka yang telah kami kirimkan ke sejumlah instansi di tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional, seperti Bupati Nagan Raya, DPRK Nagan Raya, Gubernur Aceh, DPRA Aceh, Pengadilan Tinggi Aceh, Presiden Republik Indonesia, DPRI komisi III, Kementerian Lingkungan Hidup, serta Badan Pengawasan Mahkamah Agung kami menyuarakan desakan agar seluruh isi putusan pengadilan yang telah inkracht segera dieksekusi secara menyeluruh dan transparan. Lambatnya pelaksanaan ini mencerminkan lemahnya komitmen penegakan hukum lingkungan yang seharusnya menjadi pondasi utama perlindungan ekosistem kritis di Indonesia.
PT Kallista Alam sendiri telah dijatuhi berbagai putusan pengadilan mulai dari tingkat Pengadilan negeri Meulaboh hingga Mahkamah agung, dengan total kewajiban mencapai Rp366 miliar, terdiri dari Rp114,3 miliar untuk ganti rugi materiil dan Rp251,7 miliar untuk biaya pemulihan lingkungan. Meski perusahaan ini diketahui telah mulai mencicil ganti rugi, hingga saat ini pemulihan lingkungan dan pembayaran uang paksa sebesar Rp5 juta per hari atas keterlambatan pelaksanaan putusan belum juga dilaksanakan secara penuh.
Sementara itu, PT Surya Panen Subur II (SPS II) telah diputus bersalah melalui pengadilan sejak tahun 2018 dan diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp136,8 miliar serta melakukan pemulihan terhadap 1.200 hektare lahan yang terbakar dengan nilai Rp302,1 miliar. Namun, hingga saat ini tidak terlihat ada langkah konkret dalam menindaklanjuti eksekusi putusan tersebut.
Keterlambatan ini bukan sekadar persoalan administrasi hukum, namun merupakan bentuk pengingkaran terhadap rasa keadilan masyarakat dan ancaman serius terhadap integritas sistem hukum lingkungan di Indonesia. Dampak pembakaran lahan gambut di Rawa Tripa bukan hal sepele, ia merusak habitat spesies endemik, memicu pelepasan emisi karbon dalam jumlah besar, serta mengganggu kehidupan masyarakat lokal yang menggantungkan hidup dari kawasan ini.
Kami menyerukan kepada seluruh pihak, baik di pemerintahan daerah maupun pusat, serta lembaga-lembaga hukum yang memiliki kewenangan, untuk mengambil langkah tegas dan bertanggung jawab dalam mempercepat pelaksanaan seluruh putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, pemulihan lingkungan harus menjadi prioritas, tidak bisa ditunda, apalagi diabaikan.
Rawa tripa adalah bagian penting dari besarnya kekayaan hayati yang ada di Indonesia dan warisan alam yang tidak bisa tergantikan. Sudah waktunya negara menunjukkan keberpihakan nyata pada lingkungan dan rakyatnya, dengan memastikan bahwa perusahaan yang telah merusak lingkungan harus bertanggung jawab sepenuhnya sesuai hukum yang berlaku.